Rabu, 25 Agustus 2010

Berpuasa Dan Berhari Raya Bersama Orang Banyak _

Sehubungan dengan hadirnya bulan suci Ramadhan, bulan penuh barakah yang
ditunggu-tunggu segenap umat Islam, dan juga sehubungan dengan akan datangnya
Idul Fitri, maka dalam rubrik hadits kali ini kami angkat hadits yang berkaitan dengan
masalah puasa Ramadhan dan hari raya Fitri. Untuk kali inipun kami masih mengangkat
hadits dari Silsilah al-Ahadits aeh-Shahihah, karya al-'Allamah Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, juz I no. 224.
"(Hari) berpuasa ialah hari ketika kalian semua berpuasa, sedangkan (hari)
berbuka puasa ialah hari ketika kalian semua berbuka puasa, dan (hari)
ber`idul Adha ialah hari ketika kalian semua berhari raya Adha (melakukan
penyembelihan binatang qurban)."
1 Takhrij hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi. 1 Beliau (Tirmidzi) mengatakan, "Ini adalah
hadits gharib hasan." Saya (Al-Albani) katakan, "Isnadnya jayyid (bagus) semua
perawinya tsiqah (terpercaya). 2
_Disalin dari majalah As-Sunnah 07/III/1419H hal 7 - 10.
1Tihfatil Ahwadzi II/37.
2Untuk meringkas pembahasan ini, kami (red. vbaitullah) cukupkan sampai di sini. Penjelasan Al-
Albani selanjutnya bisa dibaca di kitab beliau, "Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah" no. 224.
1
Seungguhnya ada sebuah hadits yang diriwayatkan secara mauquf (sanadnya terhenti
pada) 'Aisyah yang dikeluarkan oleh Al-Baihaqi melalui jalan Abu Hanifah, ia
mengatakan, "Ali bin Al-Aqmar telah menceritakan sebuah hadits kepadaku, dari
Masruq, ia mengatakan,
Saya datang menemui 'Aisyah pada hari Arafah, lalu ia mengatakan:
"Buatlah adonan gandum untuk Masruq dan perbanyaklah rasa manisnya".
Masruq mengatakan lagi: Saya kemudian berkata (kepada Aisyah):
"Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk berpuasa hari ini
melainkan kekhawatiranku bahwa hari ini adalah hari nahr (hari raya
penyembelihan binatang qurban)". Maka Aisyah berkata:
"Hari nahr adalah hari ketika orang-orang merayakan nahr (hari
raya penyembelihan bina tang qurban/Idul Adha), dan hari
berbuka puasa adalah hari ketika orang-orang berbuka puasa".
Saya (al-Albani) katakan bahwa: Riwayat ini sanadnya bagus dengan dukungan
riwayat sebelumnya.
2 Fiqih Hadits
Imam Tirmidzi, sesudah (memaparkan) hadits di atas (hadits pada judul pembahasan
di atas, pen), mengatakan:
"Sebagian ahli ilmu (Ulama) mengatakan dalam menafsirkan hadits ini
(bahwa): Yang dimaksud dengan berpuasa dan berbuka puasa (dalam
hadits) ini hanyalah (dilakukan) bersamasama dengan jama'ah (kelompok
umat) dan bersama-sama dengan mayoritas manusia".
Di sisi lain, Imam Shana'ani mengatakan :
"Di dalam hadits itu terdapat dalil bahwa teranggapnya ketetapan hari
led (hari raya) adalah jika beresuaian dengan kesepakatan orang (banyak).
Bahwa orang yang sendirian saja mengatahui hari 'led berdasarkan ru'yah
(melihat hilal bulan Syawal), wajib baginya untuk menyesuai kan diri dengan
orang lain.
2
Ketentuan hukum orang banyak dalam hal (kapan) melakukan shalat 'led,
berbuka puasa (berhari raya) dan ber-'Iedul Adha, mengharuskan orang yang
sendirian ini untuk mengikutinya." 3
Ibnul Qoyim juga menyebutkan perkataan yang maknanya senada dengan perkataan
di atas. Beliau mengatakan:
Ada (sementara kalangan Ulama) yang mengatakan bahwa dalam hadits itu
terdapat bantahan terhadap orang yang menyatakan bahwa:
"Sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan
berdasarkan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa
dan untuk berbuka puasa (berhari raya), tetapi tidak boleh bagi
yang tidak mange tahuinya."
Ada pula yang mengatakan:
"Sesungguhnya apabila ada satu orang saksi yang melihat hilal
(bulan) sedangkan Qadhi tidak memutuskan hukum (untuk mulai
berpuasa) berdasarkan kesaksiannya, maka tidak ada ketetapan
baginya untuk berpuasa, sebagaimana tidak pula ada ketetapan
bagi manusia banyak untuk berpuasa". 4
Abu al-Hasan as-Sindi dalam Hasyiyah (syarah/penjelasan ringan)nya terhadap (kitab)
Ibnu Majah, sesudah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam riwayat
Tirmidzi mengatakan:
"Yang tampak nyata tentang makna hadits itu ialah bahwa orang-perorangan
secara individual tidak boleh campur tangan dalam (memutuskan) persoalan-
persoalan (kapan mulai berpuasa dan kapan mulai berbuka puasa) ini, tidak
boleh pula bagi orang-perorangan untuk menyendiri dalam (pelaksanaan)
perkara-perkara ini.
Tetapi persoalannya harus diserahkan kepada Imam (pemimpin negara)
dan jama'ah. Kemudian bagi masing-masing individu wajib mengikuti
(keputusan) Imam serta jama'ah (dalam hal berpuasa ini).
3Subul as-Salam II/72.
4Tahdzib as-Sunan III/214.
3
Dengan demikian, apabila seseorang melihat hilal (permulaan bulan
Ramadhan / syawal), namun Imam menolak kesaksian nya, maka seyogyanya
tidak ada ketetapan lagi baginya untuk melakukan sesuatu berkaitan
dengan persoalan-persoalan (seperti) ini, dan wajib baginya untuk mengikuti
jama'ah (orang banyak) dalam hal ini."
Saya (al-Albani) katakan:
"Makna (di atas) itulah makna yang langsung dapat difahami dari hadits.
Ini didukung oleh pernyataan 'Aisyah yang berhujjah dengan hadits (yang
senada dengan) itu terhadap Masruq ketika ia tidak mau berpuasa pada
hari Arafah lantaran khawatir (sebab ia menduga) jika hari itu adalah hari
raya Qurban. Maka pada saat itu 'Aisyah menjelaskan bahwa pendapat
pribadinya tidak terpakai dan ia harus mengikuti orang banyak. (Ketika
itu) Aisyah berkata :
"Hari nahr (hari raya penyembelihan binatang qurban/Adha)
ialah hari ketika orang-orang (banyak) merayakan nahr (hari raya
penyembelihan binatang qurban), dan hari berbuka puasa ('Iedul
Fitri) ialah hari ketika orang-orang berbuka puasa".
Saya (al-Albani) katakan (lagi): "Inilah dia yang selaras dengan syari'at (Islam)
yang samhah (lapang dan luwes), yang di antara tujuannya adalah menghimpun dan
menyatukan barisan umat Islam, serta menjuhkannya dari segala pendapat pribadi yang
dapat memecah belah kesatuan mereka.
Karenanya, syari'at tidak mempedulikan pendapat pribadi (sekalipun menurut pribadi
itu pendapatnya benar) dalam kaitannya dengan ibadah jama'iyah (ibadah yang
dilakukan secara bersama-sama), semisal puasa (Ramadhan), penentuan hari Ied (hari
raya) dan shalat jama'ah.
Tidakkah anda memperhatikan bahwa para sahabat (tetap) melaksanakan shalat
berjama'ah, sebagiannya bermakmum kepada sebagian yang lain, padahal di antara
mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan, menyentuh anggota badan
tertentu, dan keluar darah (dari anggota badan)nya termasuk pembatal-pembatal
wudhu', sementara sebagian di antaranya tidak berpendapat demikian. Sebagian
sahabat juga ada yang tetap melaksanakan shalat sempurna dalam safar(bepergian),
sedangkan sebagian lainnya menqashar shalatnya?.
4
Ternyata perselisihan pendapat mereka tentang hal di atas dan perselisihan-
perselisihan pendapat dalam hal-hal lainnya tidak menghalangi mereka untuk bersatu
dalam shalat di belakang satu orang Imam dan mengaggap hal itu (sebagai suatu
keharusan).
Ini semua karena mereka memahami bahwa perpecahan dalam agama lebih buruk
daripada perselisihan dalam pendapat. Bahkan sebagian sahabat ada yang sampai tidak
mau menganggap sama sekali pendapat yang menyelisihi kebijaksanaan Imam besar
dalam suatu perkumpulan (shalat) yang akbar seperti (perkumpulan shalat) di Mina.
Bahkan sampai pada tingkat tidak sudi sama sekali melaksanakan pendapat pribadi
(yang menyelisihi Imam besar) seperti dalam event (shalat jama'ah) terbesar tersebut,
sebagai upaya untuk lari dari natijah (hasil) buruk yang dimungkinkan akibat melak
sanakan pendapat (pribadi).
Abu Dawud meriwayatkan 1/307, bahwa Utsman melakukan shalat empat raka'at
(maksudnya shalat Dhuhur/ Asar, pen) di Mina. Abdullah bin Mas'ud mengingkari apa
yang dilakukan Utsman seraya mengatakan:
"Saya shalat bersama Nabi dua raka'at (maksudnya, shalat empat raka'at
diqashar menjadi dua raka'at. -pen.), bersama Abu Bakar juga dua
raka'at, bersama Umar juga dua raka'at, dan kemudian bersama Utsman
di pertengahan masa keamirannya, ia menyempurnakan shalatnya (menjadi
empat raka'at), setelah itu pelbagai jalan (manhaj) telah memecah belah
kamu semua. Sungguh saya ingin jika saya melakukan shalat empat raka'at,
itu terdiri dari dua raka'at - dua raka'at (jama' - gashar)".
Namun ternyata kemudian (Abdullah) bin Mas'ud melaksanakan shalat
(di Mina) empat raka'at (seperti dilakukan Utsman). Karena itulah, maka
kemudian ada orang yang berkata kepadanya, "Engkau mencela (tidak suka)
tindakan Utsman, tetapi engkau sendiri melakukan shalat empa raka'at?!"
Ibnu Mas'ud menjawab, "Berselisih itu buruk" (Sanad riwayat ini shahih).
Imam Ahmad juga meriwayatkan hal yang senada V/155 dari Abu Dzar Radhiyallahu
Anhum Ajma'in.
Akhirnya, orang-orang yang masih berselisih dalam persoalan shalatnya, dan tidak
mau mengikuti (shalat) bersama sebagian Imam Masjid, terutama pada saat
shalat witir di bulan Ramadhan dengan alasan imam-imam itu berbeda madzhab
dengannya, hendaknya mau merenungkan hadits serta atsar di atas.
5
Begitu pula orang-orang yang mengaku tahu ilmu falak yang kemudian (memulai)
berpuasa dan (memulai) berhari raya secara sendirian saja dengan mendahului
atau membelakangi ketetapan (mayoritas) jama'ah kaum Muslimin (pemerintah -red.
vbaitullah), karena bersandar kepada pendapat dan pengetahuan pribadinya, tanpa
peduli bahwa mereka (dalam hal ini) sebenarnya telah keluar dari jama'ah kaum
Muslimin.
Sekali lagi, hendaknya mereka semua merenungkan ilmu yang telah kami sebutkan di
atas. Semoga dengan demikan mereka mendapatkan obat (yang bisa menyembuhkan)
kebodohan dan ketidak sadaran mereka, sehingga karenanya mereka menjadi satu
barisan kembali dengan saudara-saudaranya kaum Muslimin yang lain. (Sesungguhnya
tangan Allah ad di atas jama'ah. -Red

Tidak ada komentar:

Posting Komentar